Pengelolaan Sampah Pandeglang: Antara Pendapatan Daerah dan Risiko Lingkungan
Oleh Alfin Hazrullah
Aktifis Lingkungan dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNIBA
Pengelolaan sampah adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah di Indonesia.
Kabupaten Pandeglang, dengan karakteristik wilayah yang meliputi kawasan pemukiman, industri kecil, serta destinasi wisata, menghadapi persoalan pengelolaan limbah padat yang kompleks. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pandeglang membuka kerja sama menerima sampah dari Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sempat menimbulkan kontroversi dan penolakan keras dari masyarakat dan aktivis lingkungan.
Kasus ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana pengelolaan sampah harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan yang jelas dan keterbukaan kepada publik.
Produksi Sampah di Pandeglang: Tantangan Kapasitas dan Pengelolaan
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pandeglang, produksi sampah domestik harian mencapai sekitar 550 ton per hari. Angka ini didominasi oleh sampah rumah tangga dan kawasan wisata yang berkembang pesat. Dengan populasi sekitar 1,2 juta jiwa, rata-rata setiap warga menghasilkan sampah sebesar 0,4 kilogram per hari. Namun kapasitas pengangkutan dan pengelolaan yang tersedia hanya mampu mengangkut 100-150 ton per hari ke TPA Bangkonol.
Artinya, sekitar 400-450 ton sampah setiap hari masih tertinggal dan berisiko menumpuk di lingkungan sekitar, yang dapat menjadi sumber pencemaran dan menimbulkan gangguan kesehatan. Sampah yang menumpuk ini dapat menimbulkan bau tidak sedap, menarik hama, dan menyebabkan pencemaran air tanah apabila pengelolaannya tidak optimal.
TPA Bangkonol sendiri sudah menerapkan sistem sanitary controlled landfill dengan pengelolaan leachate (air lindi) dan penutupan lapisan tanah untuk mengendalikan pencemaran. Sistem ini sudah sesuai standar nasional pengelolaan limbah, namun keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA masih cukup tinggi, terutama terkait bau dan gangguan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi dan manajemen pengelolaan sampah yang ada belum sepenuhnya efektif.
Kerja Sama Pengelolaan Sampah dengan Tangsel: Harapan dan Kontroversi
Kerja sama antara Pemkab Pandeglang dengan Pemkot Tangerang Selatan yang berlangsung sejak 2024 menjadi langkah strategis untuk memanfaatkan kapasitas pengelolaan yang lebih besar di Pandeglang dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun kerja sama ini dihentikan per 31 Desember 2024 setelah muncul penolakan luas dari masyarakat dan aktivis lingkungan.
Bupati Pandeglang, Dewi Setiani, menjelaskan bahwa rencana keberlanjutan kerja sama ini akan melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pengelola agar pengelolaan lebih profesional dan dapat menambah PAD daerah. Sayangnya, sampai saat ini belum ada kejelasan teknis tentang volume sampah yang akan diterima, mekanisme pengangkutan, durasi kontrak kerja sama, maupun bentuk kompensasi bagi warga terdampak. Ketiadaan informasi tersebut menjadi sumber kekhawatiran publik dan menyebabkan resistensi.
Dampak Lingkungan dan Sosial: Lebih dari Sekadar Sampah
Studi ilmiah menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang tidak terkontrol dapat memicu berbagai dampak negatif, mulai dari pencemaran udara, tanah, dan air, hingga risiko kesehatan masyarakat. Sampah yang membusuk menghasilkan gas metana, penyumbang utama perubahan iklim global. Selain itu, pencemaran air tanah akibat bocornya leachate dapat mencemari sumber air bersih yang vital bagi masyarakat sekitar.
Dari sisi sosial, penolakan warga terhadap keberlanjutan kerja sama ini mencerminkan ketidakpuasan dan kekhawatiran mereka akan kualitas hidup yang menurun. Gangguan bau, potensi penyakit, hingga stigma sosial terhadap lingkungan yang tercemar menjadi faktor utama resistensi tersebut. Jika pemerintah daerah tidak mampu menjamin pengelolaan yang ramah lingkungan dan transparan, maka kebijakan tersebut akan berisiko menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.
Urgensi Keterbukaan dan Partisipasi Masyarakat
Pengalaman penolakan ini menggarisbawahi betapa pentingnya transparansi dan keterlibatan publik dalam setiap kebijakan pengelolaan sampah. Pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap dan mudah diakses mengenai dampak kebijakan, mekanisme pengelolaan, dan bentuk kompensasi bagi masyarakat terdampak. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan aktif sebagai pengawas sekaligus mitra dalam pengelolaan limbah.
Selain itu, penguatan kapasitas TPA Bangkonol dengan teknologi pengelolaan modern, seperti pengomposan sampah organik dan daur ulang sampah anorganik, sangat diperlukan. Teknologi ini tidak hanya akan mengurangi beban sampah yang masuk ke TPA, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru berupa produk daur ulang yang bernilai jual.
Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Sampah Berkelanjutan di Pandeglang
Kasus kerja sama pengelolaan sampah antara Pandeglang dan Tangsel merupakan gambaran nyata tantangan pengelolaan sampah di daerah berkembang. Sementara aspek ekonomi dari peningkatan PAD penting, hal itu tidak boleh mengabaikan aspek lingkungan dan sosial yang akan menentukan keberlanjutan kebijakan.
Pemerintah Kabupaten Pandeglang harus mengedepankan prinsip transparansi, keberlanjutan, dan partisipasi masyarakat dalam merancang ulang sistem pengelolaan sampahnya. Investasi pada teknologi pengelolaan limbah yang ramah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat adalah kunci utama untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat sekaligus mendukung upaya pembangunan ekonomi daerah.
Tanpa itu, kebijakan pengelolaan sampah berisiko menjadi sumber konflik dan kerugian besar yang justru akan menghambat kemajuan Kabupaten Pandeglang ke depan. (*)
Disclaimer:
Tulisan Opini ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis dan tidak mewakili pandangan Redaksi Infoterbit.com