HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Menakar Persetujuan DPRD atas DOB Tangerang Utara: Jalan Otonomi atau Sekadar Pemekaran?


Oleh Malik Fatoni

Dosen FISIP UNIBA dan Pengamat Kebijakan Publik


Persetujuan DPRD Kabupaten Tangerang terhadap rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Tangerang Utara menandai langkah krusial dalam proses pemekaran wilayah di Provinsi Banten. Keputusan ini bukan sekadar prosedur administratif, melainkan langkah politik konstitusional yang akan mempengaruhi wajah tata kelola pemerintahan lokal ke depan.


Di sinilah pentingnya menakar ulang: apakah langkah ini merupakan manifestasi dari semangat otonomi daerah yang sejati, atau sekadar pemekaran simbolik yang sarat kepentingan?


Otonomi Dalam Bingkai Konstitusi

Pemekaran wilayah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah jalan sah yang dijamin oleh Pasal 18 UUD 1945. Otonomi daerah bukan hanya soal pembagian administratif, tetapi lebih jauh tentang bagaimana negara menjamin pemerataan pembangunan, efisiensi pelayanan publik, dan penguatan demokrasi lokal.


Oleh karena itu, setiap langkah pemekaran harus dibaca dalam kerangka konstitusional, bukan sekadar pemenuhan syarat administratif belaka.


Dalam konteks DOB Tangerang Utara, persetujuan DPRD harus diuji tidak hanya dari aspek legalitas formal—apakah sidang paripurna dilakukan sah atau tidak—tetapi juga dari segi legitimasi substantif: apakah aspirasi masyarakat telah didengar secara utuh? Apakah pemekaran ini benar-benar akan membawa perubahan pelayanan dan pembangunan yang selama ini dinilai timpang di wilayah utara Kabupaten Tangerang?


Antara Aspirasi dan Kepentingan Elite

Wacana pemekaran Tangerang Utara bukan hal baru. Ia telah bergaung sejak lebih dari satu dekade, terutama karena ketimpangan pembangunan antara wilayah utara dan selatan Tangerang. Wilayah Pantura dikenal sebagai kantong pertumbuhan industri, namun banyak wilayahnya yang masih minim infrastruktur dasar, dari sanitasi hingga akses pendidikan.


Namun demikian, sejarah pemekaran di banyak daerah Indonesia mengajarkan satu hal: tidak sedikit DOB yang akhirnya menjadi beban fiskal negara karena minim kesiapan kelembagaan dan ketergantungan tinggi pada dana transfer pusat. Bahkan lebih dari itu, pemekaran seringkali dimanfaatkan oleh elite politik lokal sebagai ladang baru kekuasaan dan distribusi jabatan.


Oleh karena itu, DPRD sebagai lembaga representatif rakyat mestinya tidak hanya menjadi pemberi “izin formal,” melainkan pengawal semangat konstitusional dari pemekaran itu sendiri. Persetujuan tanpa kehati-hatian, tanpa kajian fiskal, sosial, dan lingkungan yang memadai, justru dapat menjebak DOB Tangerang Utara menjadi proyek simbolik yang jauh dari esensi otonomi.


Jalan ke Depan: Demokratisasi Pemekaran

Agar DOB Tangerang Utara tidak jatuh menjadi ruang baru oligarki lokal, diperlukan pembentukan tim transisi yang inklusif, representatif, dan akuntabel. Tata ruang wilayah DOB harus dirancang dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Penetapan pusat pemerintahan pun tidak semestinya dikunci pada pertimbangan geografis semata, tetapi harus mempertimbangkan mobilitas sosial, potensi ekonomi, serta dukungan infrastruktur dasar.


Selain itu, perlu dorongan dari Pemprov Banten dan Kemendagri untuk memastikan bahwa DOB Tangerang Utara disiapkan tidak hanya secara administratif, tetapi juga kelembagaan dan SDM-nya. Pemekaran yang baik harus mampu mengoreksi ketimpangan, memperpendek birokrasi, dan memperluas ruang partisipasi warga.


Penutup

Masa depan DOB Tangerang Utara tidak ditentukan oleh sidang paripurna DPRD semata. Ia ditentukan oleh keseriusan semua aktor untuk menempatkan pemekaran sebagai jalan memperluas demokrasi lokal, bukan sekadar pemisahan wilayah. Jika tidak, maka yang lahir bukanlah otonomi daerah, melainkan hanya kabupaten baru dengan masalah lama yang dikemas ulang. (*)

Posting Komentar