HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Pembangunan Desa Mandek: Saatnya Transparansi dan Audit Publik Diperkuat


Oleh: Malik Fatoni

‎Pengurus LPBH NU Banten
‎Akademisi & Pengamat Kebijakan Publik Tinggal di Tangerang

‎Pembangunan desa semestinya menjadi jantung dari upaya pemerataan kesejahteraan di Indonesia. Desa, dengan segala potensinya, adalah lokomotif bagi tumbuhnya ekonomi kerakyatan sekaligus ruang aktualisasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

‎Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit desa yang justru mengalami stagnasi pembangunan. Program-program yang direncanakan sering kali tidak tepat sasaran, sementara pengelolaan anggaran terkesan tertutup dan jauh dari prinsip transparansi.

‎Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar: ke mana arah pembangunan desa sebenarnya dibawa? Apakah dana desa yang begitu besar setiap tahun benar-benar dimanfaatkan sesuai kebutuhan masyarakat, atau justru menjadi jebakan birokrasi dan kepentingan segelintir elite lokal?

‎Buruknya Tata Kelola dan Perencanaan
‎Indikasi utama stagnasi pembangunan desa terlihat dari buruknya perencanaan program.

‎Musyawarah desa sering kali hanya menjadi formalitas, tanpa aspirasi yang sungguh-sungguh menggambarkan kebutuhan warganya. Akibatnya, proyek yang dibangun kurang relevan dengan kondisi lapangan. Jalan desa mungkin dibangun, tetapi kualitasnya rendah. Sarana publik didirikan, tetapi tidak terpelihara.

‎Di sisi lain, pengelolaan anggaran desa masih menyisakan banyak masalah. Laporan keuangan yang sulit diakses publik menimbulkan dugaan terjadinya penyimpangan. Padahal, prinsip good governance menuntut adanya keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas.

‎Audit Independen Sebagai Jalan Keluar
‎Dalam situasi ini, audit independen menjadi kebutuhan mendesak. Audit bukan sekadar mencari kesalahan, melainkan instrumen untuk menguji akuntabilitas dan efektivitas program.

‎Kehadiran pihak independen akan menutup ruang praktik nepotisme dan korupsi, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah desa.

‎Pengawasan internal oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sering kali tidak berjalan optimal, sehingga dibutuhkan kontrol tambahan dari lembaga auditor yang bebas dari konflik kepentingan. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, maka pembangunan desa akan kembali ke rel yang benar.

‎Mengembalikan Kepercayaan Publik
‎Transparansi bukan hanya kewajiban moral, melainkan syarat mutlak agar pembangunan desa tidak mandek. Masyarakat berhak tahu bagaimana anggaran digunakan, proyek apa yang diprioritaskan, dan sejauh mana hasilnya dirasakan.

‎Dengan adanya audit independen, kepercayaan publik bisa dipulihkan, partisipasi warga semakin menguat, dan cita-cita membangun desa yang mandiri bukan sekadar retorika.

‎Penutup
‎Stagnasi pembangunan desa harus dibaca sebagai peringatan dini bahwa tata kelola belum berjalan baik. Jika desa ingin benar-benar menjadi pilar pembangunan nasional, maka transparansi harus ditegakkan dan audit independen diperkuat. Saatnya desa tidak hanya menjadi penerima dana, melainkan juga teladan akuntabilitas bagi masyarakat luas. (*)

Posting Komentar