Madrasah Menggugat: Diskriminasi Halus dalam Nama Pendidikan Gratis
Malik Fatoni
Oleh: Malik Fatoni
Pengurus PGM Indonesia Banten dan Pengamat Kebijakan Publik
Pendidikan gratis seolah menjadi mantra sakti pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan nasional. Namun, di balik gemerlap slogan tersebut, ada realitas senyap yang jarang didengar: madrasah, terutama yang swasta, masih berjalan dalam sunyi, jauh dari keadilan kebijakan.
Madrasah tidak pernah menolak kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Justru dalam banyak kasus, madrasah-lah yang menjadi oase pendidikan di pelosok-pelosok yang terlupakan. Namun, dalam sistem yang mengklaim universalitas dan inklusi, keberadaan madrasah sering kali diperlakukan seolah bukan bagian utuh dari sistem nasional. Ia hadir, tetapi tak diakui sepenuhnya.
Inilah bentuk diskriminasi halus yang menyakitkan. Negara tidak menolak madrasah secara terbuka, tapi juga tidak memberikan dukungan setara. Dana BOS tersendat, bantuan infrastruktur minim, dan akses terhadap pelatihan guru lebih sering dialamatkan pada sekolah-sekolah formal negeri. Bukankah ini secara filosofis telah mencederai prinsip keadilan?
Filsafat keadilan dari John Rawls mengajarkan bahwa kebijakan publik seharusnya memperhatikan kelompok yang paling rentan agar mereka tidak terpinggirkan dalam struktur sosial. Madrasah hari ini, dengan segala keterbatasannya, termasuk dalam kelompok itu. Maka menjadi tugas negara untuk hadir secara afirmatif—bukan hanya membiarkan madrasah bertahan hidup dengan swadaya dan pengorbanan guru-gurunya yang digaji ala kadarnya.
Apakah pendidikan gratis hanya milik sekolah negeri? Apakah madrasah tidak cukup “Indonesia” sehingga harus terus berada di jalur pinggiran pembangunan? Apakah pengabdian kami kurang suci sehingga tak layak mendapat bagian dari keadilan fiskal negara?
Jika negara menginginkan harmoni sosial dan stabilitas ideologis di tengah derasnya arus globalisasi, maka madrasah harus ditempatkan sebagai mitra strategis, bukan sekadar pelengkap administratif. Sebab jika dibiarkan terus-menerus dipinggirkan, maka yang lahir bukan hanya ketimpangan kebijakan, tetapi juga krisis kepercayaan terhadap kehadiran negara itu sendiri.
Kami menggugat bukan karena benci, tetapi karena cinta. Cinta pada bangsa ini, dan pada janji-janji luhur konstitusi. Kami ingin negara benar-benar hadir, bukan hanya lewat pidato, tetapi melalui keberpihakan nyata dalam kebijakan. (*)